Cara Meningkatkan Kualitas IQ yang Sejalan dengan Rekomendasi WHO

Meningkatkan “kualitas IQ” tidak berarti menghafal trik ujian atau mengejar angka semata. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menekankan fondasi yang lebih mendasar: kesehatan sejak awal kehidupan, gizi yang cukup, pengasuhan responsif, lingkungan yang aman dari racun, pendidikan dan permainan yang merangsang, serta gaya hidup aktif. Semua ini—terutama pada 1.000 hari pertama kehidupan—membentuk pondasi bagi fungsi kognitif, perhatian, memori kerja, bahasa, hingga kemampuan memecahkan masalah yang kelak tercermin dalam capaian intelektual. WHO tidak menerbitkan “panduan menaikkan skor IQ” secara langsung, tetapi pedoman resminya tentang tumbuh kembang, gizi, dan lingkungan sehat sangat relevan untuk mengoptimalkan kemampuan kognitif sepanjang hidup.

Mulai dari Awal Kehidupan: Pengasuhan Responsif dan Peluang Belajar Dini

Dalam kerangka Nurturing Care, WHO menegaskan lima pilar yang saling terkait: kesehatan, gizi, keamanan dan keselamatan, pengasuhan responsif (orang tua peka terhadap isyarat anak), serta peluang belajar dini melalui interaksi sehari-hari—berbicara, membaca nyaring, bermain, bernyanyi. Interaksi “serve-and-return” ini memperkaya koneksi saraf, mempercepat pemerolehan bahasa, dan melatih regulasi emosi—semua merupakan prasyarat penting untuk performa kognitif yang baik di sekolah dan seterusnya. Program berbasis keluarga dan layanan kesehatan primer yang mengajarkan stimulasi dini, permainan, dan dukungan kesehatan mental ibu terbukti meningkatkan capaian perkembangan anak. Praktik-praktik tersebut, meski tidak menyebut “IQ” secara sempit, berdampak pada kualitas fungsi kognitif secara keseluruhan.

Gizi yang Tepat: ASI, Iodium, dan Zat Besi

ASI eksklusif 6 bulan—lalu dilanjutkan bersama MPASI bergizi sampai usia 2 tahun atau lebih—merupakan rekomendasi WHO dan UNICEF. ASI menyediakan zat gizi serta faktor imun yang krusial untuk pertumbuhan otak; praktik ini terkait hasil perkembangan yang lebih baik dan menurunkan risiko infeksi yang dapat mengganggu perkembangan kognitif. Mulai menyusui dalam satu jam pertama kelahiran juga disarankan.

Iodium adalah mikronutrien kunci untuk produksi hormon tiroid yang mengatur perkembangan otak. Kekurangan iodium menjadi salah satu penyebab utama disabilitas intelektual yang dapat dicegah. Karena itu WHO menganjurkan fortifikasi garam iodium sebagai strategi populasi yang efektif—mudah, murah, dan berdampak luas. Dalam praktik rumah tangga, gunakan garam beriodium dan simpan rapat agar iodium tidak mudah menguap, terutama pada wilayah yang berisiko defisiensi.

Zat besi pun tak kalah penting. Anemia defisiensi besi berkaitan dengan gangguan perhatian, memori, dan prestasi belajar. WHO menerbitkan pedoman suplementasi besi harian untuk bayi dan anak di wilayah dengan prevalensi anemia tinggi; intervensi ini membantu mencegah anemia dan mendukung perkembangan kognitif. Untuk keluarga, pastikan sumber besi (hewani maupun nabati) hadir rutin, disertai vitamin C untuk meningkatkan penyerapan.

Lindungi Otak dari Racun: Prioritas Bebas Timbal

Salah satu langkah paling berdampak terhadap kecerdasan populasi adalah menghapus paparan timbal. WHO menegaskan tidak ada ambang aman untuk kadar timbal dalam darah; paparan rendah sekalipun dapat menurunkan IQ, mengganggu atensi, dan menurunkan capaian pendidikan. Sumber umum termasuk cat tua, pipa air, baterai, produk konsumen tertentu, dan kontaminasi industri. Upaya yang dapat dilakukan: periksa sumber air, hindari penggunaan peralatan masak/keramik tak terstandar, pastikan mainan/bahan kerajinan aman, serta dorong kebijakan publik untuk penghapusan timbal dari bensin, cat, dan pasokan air.

Bergerak Lebih Sering, Duduk Lebih Sedikit, Tidur Cukup

Aktivitas fisik rutin memperbaiki aliran darah ke otak, memperkaya neuroplastisitas, dan memperkuat fungsi eksekutif (perencanaan, pengendalian diri). Pedoman WHO 2020 merekomendasikan anak dan remaja aktif setidaknya 60 menit per hari dengan intensitas sedang-berat; orang dewasa 150–300 menit aktivitas sedang per minggu (atau 75–150 menit intensitas berat), ditambah latihan penguatan otot. Untuk balita, pedoman WHO 2019 menekankan lebih banyak bermain aktif, lebih sedikit waktu layar, dan kualitas tidur yang baik sesuai usia. Rutinitas tidur teratur—bebas gawai, kamar tenang—mendukung konsolidasi memori dan kesiapan belajar.

Lingkungan yang Mendukung Belajar

Selain stimulasi di rumah, kualitas lingkungan belajar berdampak nyata—buku cerita di rumah, kebiasaan membaca 10–15 menit tiap hari, serta akses prasekolah berkualitas memperkaya kosakata dan pemahaman bahasa. Di layanan kesehatan primer, konseling orang tua mengenai permainan, cerita, dan komunikasi dua arah bisa disisipkan saat imunisasi atau pemantauan tumbuh kembang. Di sekolah, guru dapat memadukan gerak aktif, kerja kelompok, dan tugas pemecahan masalah untuk melatih fungsi eksekutif. Semua ini selaras dengan rekomendasi WHO tentang peluang belajar dini dalam kerangka Nurturing Care.

Cegah dan Tanggulangi Infeksi yang Menghambat Belajar

Infeksi berulang—diare, ISPA, atau cacingan—menguras energi tubuh, mengganggu asupan gizi, dan pada akhirnya menekan performa kognitif. WHO merekomendasikan pemberantasan cacing secara berkala pada kelompok berisiko di daerah endemik tanpa diagnosis individual untuk menurunkan beban penyakit. Disiplin cuci tangan, sanitasi, air minum aman, serta imunisasi lengkap adalah tameng penting agar anak belajar dalam kondisi bugar—kondisi dasar bagi kapasitas kognitif yang optimal.

Kurangi Polusi dan Stres Lingkungan

Paparan polusi udara (dalam dan luar ruang) dikaitkan dengan beragam gangguan kesehatan anak dan—menurut laporan WHO—merupakan risiko lingkungan besar terhadap kesehatan anak. Mengurangi paparan asap rokok dan polutan rumah tangga, memperbaiki ventilasi, serta memperbanyak waktu di ruang terbuka hijau adalah langkah praktis di tingkat keluarga, sementara di tingkat komunitas, advokasi kualitas udara yang lebih bersih menjadi investasi jangka panjang untuk kapasitas belajar generasi mendatang.

Kesehatan Mental Orang Tua, Ketenangan Emosional Anak

Kecemasan dan depresi pada orang tua—terutama ibu pascapersalinan—dapat mengurangi sensitivitas pengasuhan dan frekuensi interaksi berkualitas. Pedoman WHO tentang peningkatan perkembangan anak menempatkan dukungan kesehatan mental orang tua sebagai komponen kunci. Layanan konseling singkat, kelompok dukungan, serta keterlibatan ayah dan keluarga besar meningkatkan stabilitas emosi di rumah sehingga anak mendapat lingkungan aman untuk belajar dan bereksplorasi.

Untuk Remaja dan Dewasa: Kebiasaan yang Memelihara Otak

Kecerdasan bukan milik masa kecil saja. Pada remaja dan dewasa, gaya hidup tetap berperan: aktivitas fisik teratur, pola makan seimbang (cukup protein, sayur-buah, lemak sehat; asupan iodium sesuai kebutuhan), tidur cukup dan konsisten, serta pengurangan alkohol dan rokok. Mengasah otak lewat membaca, menulis, belajar keterampilan baru, dan keterlibatan sosial menjaga kelenturan kognitif. Prinsip WHO—aktif bergerak, kurangi sedentari, dukung kesehatan mental—tetap relevan untuk mempertahankan performa kognitif sepanjang hayat.

Fokus pada Fondasi, Bukan Sekadar Angka

Jika tujuan Anda “meningkatkan IQ,” pikirkan kembali sebagai upaya mengoptimalkan kapasitas otak: mulai dari pengasuhan responsif, ASI eksklusif, mikronutrien kunci (iodium, besi), lingkungan bebas timbal dan polusi, tidur cukup dengan waktu layar terukur, aktivitas fisik yang konsisten, serta pencegahan infeksi. Inilah jalur yang direkomendasikan WHO—bukan trik instan—melainkan investasi jangka panjang yang membuahkan kemampuan berpikir yang lebih tajam, fokus yang lebih baik, dan ketahanan belajar yang lebih kuat.

Artikel Terkait

Maret 2024
Minggu
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Jumat
Sabtu

Send Us A Message